Pengakuan dan Perlindungan Hak Ulayat
Dalam Kamus Besar bahasa Indonesia, pengakuan (erkenning) berarti proses, cara, perbuatan mengaku atau mengakui, sedangkan kata mengakui menyatakan berhak. Pengakuan dalam konteks ilmu hukum internasional, mengarah pada pengakuan de facto dan de jure. Pengakuan yang secara nyata terhadap entitas tertentu untuk menjalankan kekuasaan efektif pada suatu wilayah disebut dengan pengakuan de facto. Pengakuan de facto merupakan pengakuan yang bersifat sementara, karena pengakuan tersebut ditunjukkan pada kenyataan mengenai kedudukan pemerintahan yang baru, apakah ia didukung oleh rakyatnya atau apakah pemerintahannya efektif yang menyebabkan kedudukannya stabil. Jika kemudian bisa dipertahankan dan pengakuannya bertambah maju, maka pengakuan de facto dapat berubah menjadi pengakuan de jure.
Pengakuan de jure ini bersifat tetap dan disertai dengan tindakan-tindakan hukum lainnya. Dalam kaitannya dengan suatu “pengakuan” dalam konteks pengakuan terhadap suatu Negara, Hans Kelsen dalam bukunya “General Theory of Law and State” : “terdapat dua tindakan dalam suatu pengakuan yakni tindakan politik dan tindakan hukum. Tindakan politik mengakui suatu Negara yang berarti Negara mengakui kehendak untuk mengadakan hubungan-hubungan politik dan hubungan-hubungan lain dengan masyarakat yang diakuinya. Sedangkan tindakan hukum adalah prosedur yang ditetapkan oleh hukum internasional (nasional) untuk menetapkan fakta Negara dalam suatu kasus konkret”
Berdasarkan pendapat Kelsen tersebut, pengakuan terhadap masyarakat adat oleh Negara mengarah pada pengakuan politik dan pengakuan secara hukum dengan pengaturan mengenai hak dan kewajiban pemerintah dalam memberikan penghormatan, pemenuhan dan perlindungan terhadap eksistensi dan hak-hak tradisional yang dimilikinya yang harus diformulasikan dalam bentuk hukum. Menurut Austin, pengakuan melalui hukum Negara ini diartikan sebagai hukum yang dibuat oleh orang atau lembaga-lembaga yang memiliki kedaulatan, dan pengakuan ini diberlakukan terhadap anggota-anggota masyarakat politik yang merdeka.
Anggota masyarakat tersebut mengakui kedaulatan atau supremitas yang dimiliki orang atau lembaga-lembaga pembuat hukum yang bersangkutan. Dengan demikian, kebiasaan hanya akan berlaku sebagai hukum jika undang-undang menghendaki atau menyatakannya dengan tegas atas keberlakuan kebiasaan tersebut . Konsepsi Austin yang melihat hukum Negara sebagai satu-satunya hukum yang mengatur kehidupan masyarakat dikritik oleh pengikut mazhab sejarah , menurutnya bahwa setiap masyarakat memiliki ciri khas masingmasing yang tergantung pada riwayat hidup dan struktur sosial yang hidup dan berkembang untuk mengatur kepentingan mereka. Hal tersebut dipertegas oleh Freidrich Carl Von Savigny (tokoh utama mazhab sejarah) yang melihat bahwa hukum merupakan salah satu faktor dalam kehidupan bersama suatu bangsa seperti bahasa, adat, moral, tatanegara.
Oleh karenanya, hukum adalah sesuatu yang bersifat supra individual, suatu gejala masyarakat. Akan tetapi masyarakat tersebut lahir dalam sejarah, berkembang dengan sejarah, dan lenyap dalam sejarah. Dengan demikian, hukum merupakan fenomena historis yang keberadaannya setiap saat akan berbeda, bergantung pada tempat dan waktu hukum tersebut berlaku. Hukum merupakan penjelmaan dari jiwa atau rohani suatu bangsa (volksgeist).