Jakarta — Anggota Komisi IV DPR RI Fraksi PDI Perjuangan dari Dapil Kalimantan II, Bapak Paolus Hadi, S.IP., M.Si, menyampaikan sejumlah pandangan kritis dan solusi strategis dalam Rapat Kerja bersama Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Republik Indonesia. Rapat tersebut membahas Evaluasi Strategis Pasca Bencana Banjir Bandang dan Tanah Longsor yang melanda Provinsi Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat.
Pertanyakan Keberadaan Penjaga Hutan dan Peran Masyarakat Adat
Dalam rapat kerja tersebut, Paolus Hadi mempertanyakan efektivitas sistem penjagaan hutan dan keterlibatan masyarakat adat di wilayah yang terdampak bencana. Dengan luas kawasan mencapai 1,4 juta hektar, ia menilai kehadiran penjaga hutan maupun komunitas adat seharusnya menjadi garda depan dalam mitigasi awal.
“Saya ingin bertanya, apakah di tiga provinsi itu tidak ada penjaga hutan atau masyarakat adat yang tinggal di kawasan hutan? Mengapa mereka tidak dilibatkan dalam penanganan awal?” tegas Paolus.
Menurutnya, masyarakat adat merupakan pihak yang paling mengerti karakteristik hutan dan memiliki kearifan lokal yang dapat membantu mencegah kerusakan lingkungan.
Usulkan Revisi UU 41 untuk Perkuat Hubungan Pusat–Daerah
Sebagai langkah memperbaiki sistem pengawasan dan perlindungan hutan, Paolus Hadi mengusulkan agar pemerintah mempertimbangkan revisi Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Revisi ini, menurutnya, dibutuhkan untuk memperkuat hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam tata kelola hutan.
“Revisi UU 41 diperlukan untuk memberi ruang teknis dan kelembagaan bagi daerah agar bisa menambah jumlah masyarakat penjaga hutan dan meningkatkan keterlibatan mereka,” ujarnya.
Paoulus Hadi menekankan bahwa daerah harus didukung agar mampu memaksimalkan peran masyarakat yang hidup di sekitar kawasan hutan.
Dorong Penguatan Perdagangan Karbon sebagai Alternatif Ekonomi
Dalam rapat tersebut, Paolus Hadi juga menyoroti pentingnya memperkuat sistem perdagangan karbon (carbon trade) sebagai alternatif pendapatan bagi masyarakat di kawasan hutan. Menurutnya, masyarakat tidak boleh terus bergantung hanya pada pengelolaan lahan sawit.
“Perdagangan karbon harus diperkuat. Harapan saya, ini menyentuh masyarakat di kawasan hutan dan sekitarnya, sehingga mereka memiliki opsi ekonomi lain selain sawit,” jelasnya.
Paolus menilai bahwa perdagangan karbon dapat memberikan nilai tambah ekonomi bagi upaya menjaga hutan, termasuk kegiatan reforestasi, konservasi, dan praktik agroforestri yang ramah lingkungan.
Minta Data Provinsi Lain, Waspadai Potensi Bencana di Kalimantan
Tak hanya fokus pada tiga provinsi terdampak, Paolus Hadi juga meminta KLHK untuk menyampaikan data terkait daerah-daerah lain yang berpotensi mengalami bencana serupa. Ia secara khusus menyebut Kalimantan sebagai wilayah yang harus diwaspadai, mengingat kondisi Daerah Aliran Sungai (DAS) yang menurutnya mulai mengkhawatirkan.
“Saya juga was-was dengan Kalimantan. Apakah DAS kita dalam kondisi bahaya? Data ini penting agar bisa dilakukan mitigasi sejak dini,” katanya.
Ia menambahkan bahwa pemerintah perlu melakukan sosialisasi kepada seluruh provinsi mengenai kondisi hutan dan DAS, termasuk keterbukaan informasi terkait tingkat kerusakan dan risiko lingkungannya.
“Kita harus berani terbuka kepada rakyat. Sampaikan bahwa hutan kita sudah habis sekian, DAS kita sudah bahaya. Agar masyarakat yang tinggal di sekitar DAS bisa berjaga-jaga dan menjaga kelestarian lingkungan,” pungkasnya.
Penutup
Melalui pandangan kritis dan konstruktif ini, Paolus Hadi menegaskan bahwa strategi mitigasi bencana tidak bisa hanya mengandalkan kebijakan pusat. Ia menekankan pentingnya kolaborasi menyeluruh antara pemerintah pusat, daerah, masyarakat adat, serta mekanisme ekonomi hijau seperti perdagangan karbon untuk mendorong perlindungan hutan sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Eksplorasi konten lain dari Sanggauinformasi.com
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

