Lompat ke konten

Hukum Adat Kini Diakui dalam KUHP Baru, Namun Ada Kekhawatiran Kehilangan Jati Diri

  • oleh

Sanggauinformasi.com. Pemerintah resmi memasukkan hukum adat sebagai bagian dari sistem pemidanaan dalam KUHP Baru. Pengakuan ini menggunakan konsep “living law”, yaitu hukum yang hidup dan dijalankan masyarakat dalam kehidupan sehari-hari.

Hukum Adat Bisa Jadi Dasar Pemidanaan

Dalam Pasal 2 KUHP, disebutkan bahwa suatu perbuatan dapat dipidana bila diatur dalam Undang-Undang atau hidup sebagai hukum adat di masyarakat. Ini memberi ruang bagi hakim untuk menjatuhkan pidana berdasarkan norma adat setempat yang masih diakui.

Syarat Adat Bisa Dijadikan Dasar Pidana. Agar dapat diberlakukan, hukum adat harus memenuhi beberapa syarat penting, yaitu:

  • Tidak bertentangan dengan Pancasila
  • Tidak melanggar HAM
  • Masih hidup dan diakui masyarakat
  • Telah ditetapkan melalui Peraturan Daerah (Perda)

Tanpa Perda, ketentuan adat tidak dapat digunakan sebagai dasar pemidanaan.

Tindak Pidana Adat dalam KUHP

Melalui Pasal 601 KUHP, hakim dapat menjatuhkan pidana berdasarkan:

  • Norma adat
  • Kewajiban adat
  • Larangan adat

Dengan syarat bahwa ketentuan adat tersebut telah resmi diberlakukan melalui Perda.

Sanksi Adat Diakui Negara, KUHP Baru juga mengakui sanksi adat sebagai bagian dari penyelesaian pidana, baik sebagai:

  • Pidana tambahan
  • Pidana pengganti
  • Alasan pengurangan atau penghapusan pidana apabila masalah telah diselesaikan secara adat

Langkah ini menegaskan posisi hukum adat dalam sistem hukum nasional.

Sumber Grafis Group DAD Tayan Hilir

Hukum adat di Indonesia diakui sebagai bagian dari sistem pemidanaan, terutama melalui konsep “hukum yang hidup dalam masyarakat” (living law), yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru (UU No. 1 Tahun 2023). Pengakuan ini mencerminkan penghormatan terhadap keberagaman budaya dan prinsip keadilan restoratif, meskipun penerapannya memiliki batasan tertentu. 

Kedudukan Hukum Adat dalam Sistem Pemidanaan

  • Pengakuan Konstitusional: Keberadaan masyarakat hukum adat dan hak-hak tradisionalnya diakui secara konstitusional dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945.
  • “Hukum yang Hidup” (Living Law): KUHP baru secara eksplisit mengakui “hukum yang hidup dalam masyarakat” sebagai dasar pemidanaan, sejajar dengan tindak pidana dalam undang-undang tertulis, selama memenuhi persyaratan tertentu.
  • Fungsi Alternatif Penyelesaian Perkara: Hukum adat sering berfungsi sebagai mekanisme penyelesaian konflik di luar peradilan formal, menekankan pada pemulihan hubungan antar pihak dan tatanan sosial yang terganggu (keadilan restoratif), yang dapat mengurangi beban sistem peradilan formal.
  • Sanksi Adat: Sanksi adat dapat dijadikan pidana pokok atau pidana utama oleh hakim untuk perbuatan yang dianggap tindak pidana menurut hukum yang hidup tetapi tidak ada bandingannya dalam KUHP. 

Batasan dan Syarat Penerapan

Penerapan hukum adat dalam sistem pemidanaan nasional harus memenuhi beberapa kriteria agar diakui secara sah: 

  • Tidak Bertentangan dengan Nilai Universal: Hukum adat yang diterapkan harus sesuai dengan Pancasila, UUD 1945, hak asasi manusia (HAM), dan asas hukum umum yang diakui.
  • Dilegalisasi melalui Peraturan Daerah (Perda): Salah satu syarat utama pengakuan hukum adat dalam KUHP baru adalah perlunya legalisasi melalui peraturan daerah setempat.
  • Berlaku untuk Tindak Pidana Ringan: Penerapan hukum adat cenderung lebih efektif dan diutamakan untuk tindak pidana atau pelanggaran yang bersifat ringan. 

Secara keseluruhan, hukum adat diakui dan memainkan peran penting sebagai pelengkap dalam sistem peradilan pidana Indonesia, menjembatani hukum nasional yang tertulis dengan nilai-nilai lokal yang hidup di masyarakat. 

Pandangan Ahli: Hukum Adat Berpotensi Kehilangan Jati Diri

Menurut Selfius Seko, SH., MH, keberadaan hukum adat dalam KUHP Baru memang memberikan pengakuan formal dari negara. Namun, ia menilai ada sisi lain yang perlu diwaspadai.

Selfius menjelaskan bahwa dengan masuknya hukum adat ke dalam sistem pemidanaan negara, hukum adat justru berpotensi keluar dari esensinya. Hukum adat yang pada hakikatnya bersifat fleksibel, hidup, dan dinamis dapat berubah menjadi hukum yang legalistik dan formal.

Hal ini, menurutnya, dapat membuat hukum adat kehilangan jati dirinya sebagai hukum yang tumbuh dari pengalaman, nilai, dan kesepakatan masyarakat.

Kesimpulan

KUHP Baru membuka ruang besar bagi penguatan hukum adat sebagai “living law.” Namun demikian, para ahli mengingatkan pentingnya menjaga ruh dan jati diri hukum adat agar tidak terjebak menjadi hukum formal yang kaku. Perda memang menjadi kunci pengesahan, tetapi esensi hukum adat sebagai hukum yang hidup harus tetap dipertahankan agar tidak kehilangan makna dan fungsi sosialnya.


Eksplorasi konten lain dari Sanggauinformasi.com

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.