Lompat ke konten

Hukum Adat Harus Dibentengi dari Kepentingan Politik dan Investasi

  • oleh

Sanggau – Pemberlakuan KUHP Baru yang mengakui “hukum yang hidup dalam masyarakat” atau living law sebagai dasar pemidanaan mendapat perhatian serius dari aktivis masyarakat adat, Moses Thomas. Ia menegaskan bahwa pendokumentasian hukum adat dalam bentuk Hukum Adat Tertulis merupakan langkah mutlak agar nilai-nilai adat tetap terjaga, tidak diselewengkan, dan tidak dijadikan alat kepentingan politik maupun kepentingan investasi yang mengancam ruang hidup masyarakat adat.

Menurut KUHP Baru (UU No. 1 Tahun 2023), hukum adat dapat dijadikan dasar pidana sepanjang tidak bertentangan dengan Pancasila, HAM, dan telah dituangkan dalam Peraturan Daerah. Ketentuan ini membuka ruang besar bagi penguatan peran adat, namun juga menghadirkan risiko pemanfaatan hukum adat oleh pihak-pihak tertentu baik elite politik maupun kepentingan bisnis jika tidak didokumentasikan secara benar dan resmi.

Menanggapi hal tersebut, Moses menekankan bahwa penyusunan hukum adat harus dilakukan secara hati-hati dan bertanggung jawab.

“Setiap ketentuan adat wajib dituliskan secara jelas dalam bentuk Hukum Adat Tertulis dan digali langsung dari tetua-tetua adat yang masih memegang pengetahuan asli. Ini penting untuk mencegah hukum adat berubah menjadi alat kriminalisasi atau alat politik kelompok tertentu,” ujarnya.

Ia menjelaskan bahwa hukum adat pada dasarnya lahir dari kesepakatan, nilai moral, dan pengalaman hidup masyarakat adat. Oleh karena itu, proses penyusunannya tidak boleh sembarangan.

“Tanpa pendokumentasian dalam bentuk tertulis dan tanpa penggalian yang benar dari tetua adat yang masih bersih dan original, hukum adat bisa kehilangan jati dirinya. KUHP Baru memang memberi ruang besar, tetapi ruang ini harus digunakan dengan bijak,” tegas Moses.

Lebih jauh, ia menegaskan bahwa Hukum Adat Tertulis bukan hanya menjaga kemurnian dan keaslian nilai adat, tetapi juga menjadi benteng agar penerapannya tidak keluar dari tujuan awalnya, yaitu menjaga harmoni sosial, martabat masyarakat adat, dan rasa keadilan.

“Hukum adat tidak boleh menjadi instrumen tekanan. Ia harus tetap menjadi pedoman moral yang menuntun masyarakat menuju keadilan dan keseimbangan,” tambahnya.

Moses Thomas, seorang pemerhati hukum adat dan advokat komunitas adat, mengemukakan sembilan poin penting yang harus diperhatikan agar hukum adat tetap menjadi pelindung masyarakat adat dan tidak disalahgunakan. Berikut penjelasan lengkapnya:

1. Hukum Adat Harus Dibentengi dari Kepentingan Politik dan Investasi

Moses Thomas mengingatkan bahwa hukum adat sangat rentan diselewengkan jika tidak dibentengi dengan pendokumentasian resmi.

Tanpa perlindungan yang jelas, hukum adat dapat dijadikan alat untuk kepentingan politik, kelompok tertentu, atau bahkan dimanfaatkan oleh korporasi besar seperti perusahaan perkebunan dan pertambangan. Jika hal tersebut terjadi, maka masyarakat adat berpotensi kehilangan hak dan kedaulatannya atas tanah, budaya, serta keputusan internal mereka.

2. KUHP Baru Mengakui Living Law sebagai Dasar Pemidanaan

Pasal–pasal dalam KUHP Baru membuka ruang pengakuan terhadap hukum adat yang hidup (living law).
Namun pengakuan ini memiliki tiga syarat penting:

  • Tidak bertentangan dengan Pancasila
  • Tidak bertentangan dengan HAM
  • Harus dituangkan secara resmi dalam Peraturan Daerah (Perda)

Bagi Moses Thomas, hal ini adalah peluang sekaligus ancaman. Peluang karena hukum adat diakui; ancaman karena jika tidak tertib, bisa disalahgunakan oleh pihak luar untuk kepentingan tertentu.

3. Pendokumentasian Hukum Adat Tertulis Menjadi Keharusan

Setiap ketentuan adat harus ditulis dengan jelas, lengkap dengan nilai-nilai aslinya.
Dokumentasi wajib bersumber dari tetua adat atau pemangku adat yang masih memegang pengetahuan tradisional secara autentik.

Tujuannya:

  • Mencegah penyimpangan tafsir
  • Menghindari kriminalisasi masyarakat adat
  • Menghindari manipulasi hukum adat demi kepentingan ekonomi atau politik

Menurut Moses Thomas, “hukum adat hanya kuat jika ditulis; tanpa itu, ia akan mudah dipelintir”.

4. Risiko Hilangnya Keaslian Nilai Adat Jika Tidak Digali dari Sumbernya

Jika hukum adat tidak digali langsung dari tetua adat, ada risiko besar nilai-nilai adat kehilangan orisinalitas.
Hukum adat yang tidak bersumber dari jati diri komunitas bisa berubah menjadi norma yang tidak lagi mencerminkan budaya, kebutuhan, dan tradisi masyarakat adat setempat.

5. Hukum Adat Harus Tetap Menjadi Pedoman Moral dan Penjaga Harmoni

Moses Thomas menekankan bahwa hukum adat pada dasarnya adalah penjaga harmoni.
Ia tidak boleh berubah menjadi alat tekanan, intimidasi, atau instrumen yang menguntungkan pihak tertentu.

Tujuan utama hukum adat adalah:

  • Menjaga martabat manusia
  • Menjaga keseimbangan sosial
  • Menegakkan keadilan dalam komunitas adat
6. Peran Kepala Adat dan Dewan Adat Sangat Menentukan

Pemimpin adat memiliki kedudukan sebagai:

  • Pemutus perkara adat
  • Penafsir utama norma adat
  • Penjaga nilai dan moral adat

Jika kepala adat tidak menjalankan fungsi ini secara benar, maka hak masyarakat adat bisa terancam, terutama ketika berhadapan dengan tekanan eksternal seperti investasi berskala besar. Integritas mereka jadi benteng pertama.

7. Intervensi Eksternal Adalah Ancaman Terbesar

Moses Thomas menyoroti bahwa intervensi politik, ekonomi, dan korporasi adalah ancaman terbesar bagi keberlanjutan hukum adat.

Intervensi eksternal dapat memelintir hukum adat untuk:

  • melegitimasi penguasaan lahan,
  • mengkriminalisasi masyarakat adat,
  • mengabaikan hak komunal atas tanah ulayat.

Tanpa perlindungan yang jelas, hukum adat bisa berubah menjadi alat yang merugikan masyarakat adat itu sendiri.

8. Konflik Agraria Meningkat dan Hukum Adat Menjadi Benteng Terakhir

Di tengah meningkatnya konflik agraria, hukum adat memiliki peran sebagai pertahanan terakhir bagi masyarakat adat dalam mempertahankan ruang hidup mereka.

Integritas pemimpin adat menjadi penentu utama apakah hukum adat dapat benar-benar:

  • melindungi tanah adat,
  • menjaga kedaulatan komunal,
  • dan menolak penetrasi kepentingan eksternal yang merugikan.

Hukum adat seharusnya menjadi tameng, bukan alat pengusiran masyarakat adat.

9. Pemerintah Daerah dan Lembaga Adat Harus Terlibat Aktif

Pengakuan hukum adat dalam KUHP Baru tidak berarti apa-apa jika tidak diikuti langkah nyata.
Moses Thomas menegaskan perlunya:

  • Penyusunan Peraturan Daerah (Perda)
  • Pelibatan aktif tetua adat
  • Verifikasi nilai adat sebelum ditetapkan
  • Perlindungan hukum dari kepentingan politik dan korporasi

Kolaborasi antara pemerintah daerah dan lembaga adat wajib dilakukan untuk memastikan bahwa hukum adat tidak hanya diakui, tetapi benar-benar menjadi payung perlindungan.

Penutup

Sembilan poin yang disampaikan Moses Thomas menjadi peringatan keras bagi semua pihak bahwa pengakuan hukum adat dalam KUHP Baru harus diiringi dengan penguatan sistem dan dokumentasi. Hukum adat bukan hanya warisan budaya, tetapi juga fondasi identitas dan kedaulatan masyarakat adat.

Tanpa penguatan yang tepat, hukum adat berisiko kehilangan makna dan menjadi alat yang merugikan komunitas adat itu sendiri. Dengan komitmen, integritas, dan kolaborasi, hukum adat bisa tetap berdiri kokoh sebagai pilar keadilan dan harmoni masyarakat adat Indonesia.

Selain penggalian dan pendokumentasian, Moses menyoroti bahwa nasib hukum adat sangat bergantung pada pemutus perkara adat, yakni Kepala Adat, serta pemangku kepentingan adat lainnya seperti Dewan Adat atau lembaga adat serupa sesuai struktur adat di masing-masing wilayah. Mereka memegang peran sentral dalam menentukan keadilan adat, menafsirkan norma adat, serta memastikan bahwa hukum adat diterapkan sebagaimana mestinya.

“Jika para Kepala Adat atau sebutan lainnya dan Dewan Adat tidak menjalankan tugas dan fungsinya dengan benar, maka hak-hak masyarakat adat akan terancam. Ini menjadi semakin berbahaya ketika berhadapan dengan investasi perkebunan dan pertambangan yang berpotensi mengancam ruang hidup masyarakat adat,” jelasnya.

Untuk itu, Moses menekankan bahwa hukum adat harus memiliki tameng yang kuat dari segala bentuk intervensi eksternal baik politik, ekonomi, maupun kepentingan korporasi karena tanpa perlindungan tersebut, hukum adat mudah dipelintir untuk membenarkan penguasaan lahan, mengkriminalisasi masyarakat adat, atau mengabaikan hak-hak komunal.

“Konflik agraria terus meningkat, dan dalam situasi seperti ini, integritas serta keberanian Kepala Adat dan Dewan Adat menjadi ujung tombak pertahanan masyarakat adat dari penyingkiran dan perampasan ruang hidup,” tegas Moses.

Dengan diberlakukannya KUHP Baru, Moses mengingatkan bahwa peran pemerintah daerah, lembaga adat, para tetua adat, serta para pemutus perkara adat dan pemangku kepentingan adat menjadi sangat penting untuk memastikan bahwa hukum adat yang kelak diakui negara benar-benar mencerminkan nilai hidup masyarakat adat, bukan kepentingan segelintir pihak.


Eksplorasi konten lain dari Sanggauinformasi.com

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.